Artikel

Santunan Anak Yatim dan Kontekstualisasi Makna Yatim

Senin, 15 Juli 2024 12:36 WIB
  • Share this on:

Bulan Muharram identik dengan bulan anak yatim. Hari ke sepuluh atau yang disebut dengan hari ‘Asyura dalam bulan ini, lebih merupakan hari raya bagi sebagian besar anak yatim di kalangan umat muslim. Bagaimana tidak, setiap memasuki bulan Muharram anak-anak yatim akan dihujani dengan berbagai hadiah yang berlimpah. Pada bulan ini anak-anak yatim mendapat perhatian yang ’lebih’ dari sebagian besar umat Islam, baik secara personal maupun secara institusional. Masyarakat kita telah menjadikan bulan Muharram sebagai bulan santunan bagi anak yatim. Pada bulan ini, secara istimewa anak-anak yang ditinggal mati ayahnya sebelum balig, yang lazim disebut anak yatim, mendapat limpahan materi lebih dari yang biasa mereka dapatkan, dalam sebuah gebyar acara yang secara khusus sengaja diadakan untuk mereka pada setiap bulan Muharram. Para anak yatim bak dewa yang diharapkan berkahnya. Demi mendapat limpahan berkah dan pahala, mereka ditata berjajar untuk diberi hadiah, dan kemudian rambut mereka dibelai secara bergantian seolah itu ungkapan kasih sayang.

Di sini anak-anak yang ditinggal orang tuanya (selain ayah sahnya secara hukum fiqih), seperti anak yang kehilangan ibunya, anak-anak yang sengaja dibuang orang tuanya karena tidak diharapkan kelahirannya, anak yang lahir dari hubungan tidak sah yang ditelantarkan orang tuanya, kurang mendapat tempat dalam gebyar acara santunan ini. Karena anak-anak tersebut secara definitif fiqhiy tidak bisa disebut yatim. Acara gebyar santunan Muharram ini lebih mengistimewakan anak yatim dalam arti anak yang ditinggal mati ayah sahnya sebelum usia balig. Perlakuan ini sekilas merupakan bentuk diskriminasi terhadap anak-anak lain yang secara psikologis dan sosial merasakan hal yang sama, yaitu kehilangan sandaran hidup dan kehilangan sebagian atau bahkan seluruh kasih sayang dari orang tuanya. Dalam hal ini, agaknya masih diperlukan pengkajian ulang mengenai definisi seorang anak yang disebut yatim.

Menurut Raghib al-Asfaghani, istilah yatim bagi manusia dimaksudkan untuk anak yang ditinggal mati ayahnya dalam keadaan sebelum balig. Pengertian inilah yang sampai saat ini dipegang ketika mendefinisikan anak yatim. Sedang yatim bagi hewan adalah yang ditinggal mati induknya. Di sini ‘illat yang menjadi titik tekannya menunjuk pada pihak yang menjadi sandaran dan penanggung-jawab kelangsungan hidup anak, seperti mengurus, memberi perlindungan, dan memberi makan anak. Pada manusia tanggung jawab tersebut melekat pada diri ayah, sedang pada hewan ada pada induknya. Jadi, berdasar ‘illat yang ditunjukkan dari kata yatim di atas, istilah yatim dapat digunakan bagi pihak yang kehilangan sandaran, pelindung dan penanggungjawab hidup, baik ia kehilangan ayah ataupun ibu yang melahirkannya. Selanjutnya, kata yatim, menurut al-Asfaghani, juga digunakan untuk setiap orang yang hidup sendiri tanpa kawan atau teman, sebatang kara (Tafsir al-Quran Tematik, I, 2014, h. 324).

Merujuk pada definisi dan ’illat yang menjadi titik tekan dari istilah yatim, maka istilah yatim maknanya bisa diperluas mencakup siapa saja yang hidup sebatang kara, sendirian, karena telah kehilangan pelindung dan pihak yang bertanggung jawab dan menjadi sandaran bagi kelangsungan hidupnya, yaitu orang tuanya. Baik yang hilang itu ayah ataupun ibu. Baik itu ayah yang sah secara hukum fiqhiy maupun yang tidak sah. Baik anak tersebut lahir dari hubungan yang sah ataupun tidak, baik dia anak dari orang muslim maupun non muslim. Ini berarti, secara kontekstual pengertian anak yatim bisa diartikan sebagai anak yang kehilangan sosok panutan terdekat, kehilangan separuh atau lebih kehangatan dan cinta orang tuanya, serta kehilangan pelindung dan penjamin hidupnya, siapapun dia, dan apapun agamanya.

Dengan demikian, istilah yatim juga berlaku bagi anak yang ditinggal ibunya, karena dalam konteks ke-Indonesiaan, yang menjadi sandaran anak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya bukan hanya ayahnya, tetapi juga ibunya. Demikian pula anak yang tidak memiliki orang tua, baik orang tua sah atau tidak, seperti anak-anak yang ditelantarkan orang tuanya, dan anak-anak yang dibuang kedua orang tuanya karena tidak dikehendaki kelahirannya. Mereka ini juga layak disebut yatim. Karena mereka yang disebut terakhir bahkan hidupnya lebih memprihatinkan. Proses kelahirannya yang tidak diinginkan, menjadikan sebagian besar orang memandangnya dengan sebelah mata. Mereka tentunya juga berhak untuk diberi santunan sebagaimana anak-anak yatim menurut definisi fiqhy. Karena bagaimanapun mereka juga anak-anak yang telah diciptakan Tuhan untuk mengisi masa depan dunia dan bangsa ini. Mereka juga mengalami nasib sama, yaitu telah kehilangan sandaran, pelindung dan kasih sayang karena ditinggal ‘mati’ orang tuanya. Orang tua biologisnya bisa jadi masih hidup secara fisik, tetapi secara nurani sebenarnya orang tuanya telah ‘mati’. Anak yang memiliki orang tua yang telah mati nuraninya tentu hidupnya akan lebih menderita dan merana.

Pemahaman ulang terhadap definisi anak yatim ini agaknya diperlukan guna merumuskan secara komprehensif program penanganan anak bangsa, agar pendistribusian dan pola pemberian santunan lebih luas daya cakupnya. Ini sangat penting, demi menjamin kebutuhan dan kelangsungan hidup jangka panjang anak-anak yang telah kehilangan penanggungjawab hidup. Dengan demikian, ke depan mereka mampu menjalani hidup secara normal, mandiri, tidak secara terus menerus menjadi beban lingkungannya ataupun terlarut dalam penyesalan nasib. Tentu tak ada anak yang mau ditinggal begitu saja oleh orang tuanya, sehingga memperhatikan dan memberi kepedulian serta kasih sayang yang cukup terhadap anak-anak yang mempunyai orang tua yang mati nuraninya juga sangat diperlukan.

Banyak ayat al-Quran yang menuntut seorang beriman untuk memiliki kepedulian terhadap kelangsungan hidup anak yatim, dan tidak mengabaikan nasib mereka. Orang yang menyakiti dan tidak mempedulikan anak yatim, dalam al-Quran divonis sebagai pendusta agama (QS. Al-Ma’un: 1-2). Bukti dari ketaqwaan pun, salah satunya dinilai dari kesediaannya untuk melakukan kebajikan dengan berbagi kebahagiaan dengan anak yatim (QS. Al-Baqarah 177), dan tidak berlaku sewenang-wenang terhadapnya (QS. Adh-Dhuha: 9),.

Dalam konteks realitas sosial yang lebih luas, pengaplikasian makna yang terkandung di dalam ayat al-Quran dalam pengertiannya yang lebih luas tentu harus lebih ditekankan. Inti sebenarnya dari problem anak yatim, adalah seorang anak yang tidak mendapat kasih sayang, sandaran, pelindung dan penanggung jawab hidupnya, sehingga kebutuhan masa depannya tidak terjamin. Dengan demikian, mengantikan kedudukan orang tua bagi mereka menjadi kewajiban bagi orang yang mengaku beriman. Menutupi kekurangan-kekurangan yang dirasakan anak-anak tersebut di atas, baik yang bersifat material maupun yang bersifat psikologis. Ini bisa kita lakukan dengan memenuhi kebutuhan hidupnya (makan, minum, pakaian dan berbagai fasilitas hidup lainnya), pemberian perhatian, kasih sayang keluarga, keamanan dan kenyamanan dari sisi psikologi, tidak menyakiti hati dan perasaannya, ikut memikirkan kehidupannya, peduli terhadap kelangsungan masa depannya dan tidak mengabaikannya, merupakan bentuk-bentuk santunan yang hendaknya diberikan kepada mereka. Mendapat perlakuan semacam ini, tentunya juga sangat dibutuhkan oleh mereka yang telah kehilangan orang tua, entah itu anak yang kehilangan ibunya, dibuang atau ditelantarkan orang tuanya, ataupun sebab-sebab yang lain. Karena pada dasarnya apa yang dirasakan anak yatim secara fiqhy juga dirasakan oleh semua anak yang ‘kehilangan’ orang tuanya, apapun agama yang dianutnya. Untuk itu, seyogyanya pula masyarakat kita juga memperlakukan anak-anak tersebut sebagaimana memperlakukan anak yatim (anak yang ditinggal mati ayah sahnya), karena bagaimanapun mereka juga yatim secara maknawi.

Selanjutnya, agar mereka dapat berdaya, tentu saja, bekal pendidikan dan ketrampilan menjadi kebutuhan primer yang harus diperhatikan dan diberikan kepada mereka, agar dapat digunakan untuk menyongsong kehidupan masa depannya. Dan yang terpenting, semua ini harus dilakukan secara kontinyu dan terus menerus, bukan hanya sekali waktu, bukan hanya sekali dalam setahun, dan bukan hanya sekedar empati atau belaian di atas panggung. Waallaahu alam

 

Bahan Bacaan:

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Tematik Al-Qur’an, Jilid I, Jakarta, Kamil Pustaka, 2014

Sumber Gambar: https://pixabay.com/id/photos/anak-laki-laki-jendela-menunggu-731165

Editor:
Axelda Martha
Kontributor:
Penyuluh Agama Islam Kemenag Kab Blitar
Penulis:
Nurul Umaya
Fotografer:
Axelda Martha

Kalender

Oktober 2024
MIN SEN SEL RAB KAM JUM SAB

Gallery

  • Doa Lintas Agama dalam Peringatan HAB ke-77 Kementerian Agama, Wujud Kerukunan Umat untuk Indonesia Hebat
  • Gelar Upacara Peringatan Hari Pendidikan Nasional, Kakankemenag Kab. Blitar: Teladani Nilai-nilai Warisan Ki Hajar Dewantara
  • - Pengukuhan Pengurus BKM Kabupaten Blitar Periode 2023-2027, Rabu (25/11/2023).
  • - Apel Korpri Kankemenag Kab. Blitar