Artikel

Moderasi Itu Menyatukan Bukan Menyamakan

Jumat, 1 Maret 2024 10:20 WIB
  • Share this on:

وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ

Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?

( Q.S.Yunus/10 : 99 )

 

Menyadari fakta bahwa bangsa indonesia memiliki multisuku, multietnik, multibudaya, serta multikeyakinan dalam beragama. Para founding fathers mewariskan nilai dasar  perekat keberagaman yang dikenal dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai upaya menyatukan berbagai keunikan dan perbedaan yang ada, agar tetap dalam bingkai “Satu kesatuan Negara Republik Indonesia”.

Nilai-nilai dasar tersebut berwujud sikap bersedia saling menerima,  saling menghargai, dan saling menghormati  kelompok lain yang berbeda, baik perbedaan  suku, etnik, budaya, maupun keyakinan dan agamanya. Saling toleransi dalam berinteraksi dan hidup berdampingan dalam perbedaan dengan segala keunikannya tanpa konflik, serta mengakui perbedaan identitas masing-masing.

Dalam upaya membangun kerukunan,  cara pandang yang moderat (toleran) sangat menentukan, karena setiap agama disamping memiliki kesamaan juga memiliki kekhasan masing-masing serta mempuyai perbedaan keyakinan yang mutlak dan fundamental; seperti perbedaan standart nilai norma  yang dijadikan ukuran penilaian baik-buruknya suatu amal perbuatan.

Setiap agama juga mempunyai peraturan sendiri-sendiri berupa hukum yang harus dipatuhi, baik dalam bentuk perintah yang harus dilaksanakan, maupun berupa larangan yang harus ditinggalkan. Karena itu tidak proporsional jika mengunakan standart kebaikan satu agama untuk menilai agama yang lain.  (Q.S. an-Nisa : 89), sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw menolak sikap orang Yahudi ketika meminta Nabi Muhammad agar memutuskan perkara mereka dengan hukum yang bersal dari kitab suci Al-Qur’an (Q.S. al-maida : 43), karena mereka (kaum Yahudi) mempunyai kitab suci sendiri, yaitu Kitab Taurat.

Disamping perbedaan, antar agama juga mempunyai persamaan,  yaitu sama-sama merupakan aktualisasi dari kepercayaan tentang adanya kekuatan ghaib dan supranatural yang dikonsepsikan sebagai Tuhan, yang menjadikan para penganutnya islam dalam arti generik; yaitu berserah diri, taat sepenuh hati dan pasra kepada Tuhan Yang Maha Esa (Tauhid), serta sama-sama mengajarkan kebaikan.

Karena masing-masing agama disamping mempunyai kesamaan juga mempunyai perbedaan, maka setiap usaha untuk mencampur adukkan keyakinan dan agama  merupakan propaganda mendangkalkan aqidah, sebab jika seseorang dengan yakin mengatakan bahwa semua agama sama, maka berarti pada saat itu ia tidak mengakui kebenaran keyakinan agama yang dianutnya, sehingga ia berada dalam posisi tidak beragama.

Kaum beriman diperintahkan oleh Tuhan untuk menerima Pluralitas sebagai ketentuan (Qodho’) agar mereka saling bekerja sama, saling berbuat baik antar sesama, dengan prinsip kesetaraan derajat, sekaligus sebagai tantangan agar saling berlomba dalam mencari dan melakukan kebajikan (Fastabikul Khoirot).

 

وَلَوْ شَاء اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَـكِن لِّيَبْلُوَكُمْ فِي مَآ آتَاكُم فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَاتِ

“Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan”. (Q.S. Al-Maidah/5 : 48).

 

Karena itu tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)   لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ . (QS. Al-Baqarah/2 : 256).  إِكْرَاهَ Secara etimologis berarti paksaan, maksudnya tidak boleh memaksakan orang lain untuk masuk agama islam , karena tidak mungkin islam (tunduk, patuh dan bersera diri) kalau dipaksa, kewajiban umat beragama hanya menyampaikan dengan cara yang baik dan penuh bijaksana, jika mereka tidak beriman itu bukan urusan kita, melainkan urusan Tuhan Yang Maha Kuasa.

 

Komponen utama dalam membangun kerukunana antar umat beragama adalah mengembangkan sikap saling menghargai dan saling menghormati antara pemeluk agama; Tidak  membicarakan keyakinan agama; Tidak memaksakan keyakinan pada orang lain; Tidak berdakwa kepada orang yang sudah memeluk suatu agama;  dan  Tidak melakukan sesuatu tindakan yang dapat memicu timbulnya perpecahan, dll.

 

*Penulis adalah Kepala Seksi Pendidikan Agama Islam (Kasi PAIS) pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Blitar.

Editor:
Axelda Martha
Kontributor:
PAIS Kemenag Kab. Blitar
Penulis:
Drs. H. MOH. ROSYAD, M.Si.

Kalender

Oktober 2024
MIN SEN SEL RAB KAM JUM SAB

Gallery

  • Doa Lintas Agama dalam Peringatan HAB ke-77 Kementerian Agama, Wujud Kerukunan Umat untuk Indonesia Hebat
  • Gelar Upacara Peringatan Hari Pendidikan Nasional, Kakankemenag Kab. Blitar: Teladani Nilai-nilai Warisan Ki Hajar Dewantara
  • - Pengukuhan Pengurus BKM Kabupaten Blitar Periode 2023-2027, Rabu (25/11/2023).
  • - Apel Korpri Kankemenag Kab. Blitar